
Pose bersama fasilitator dan guru setelah berakhirnya kegiatan
WARTA PJKR | KALABAHI – Dalam upaya memperkuat karakter siswa melalui pendekatan lokal yang kontekstual, Sekolah Dasar (SD) Multikultural Cermin, Kalabahi, Kabupaten Alor menyelenggarakan kegiatan Revisioning dan Lokakarya Guru SD Multikultural Cermin pada tanggal 02 Agustus 2025. Kegiatan ini menjadi tonggak penting dalam mengembangkan kurikulum muatan lokal yang lebih relevan, kontekstual, dan berbasis nilai budaya masyarakat.
Salah satu narasumber yang hadir sebagai pemateri utama dalam kegiatan ini adalah Jusuf Blegur, seorang akademisi dan praktisi pendidikan dari Program Studi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Artha Wacana yang selama ini dikenal aktif dalam pengembangan kompetensi guru dalam aspek perencanaan, pengembangan model, dan juga asesmen. Dalam sesi lokakarya tersebut, Jusuf hadir bersama Zuvyati Aryani Tlonaen, seorang peneliti pendidikan dan fasilitator komunitas, untuk membawakan materi mengenai penyusunan Perangkat Ajar Muatan Lokal dengan mengintegrasikan konsep Mang Gariang.
Sebelumnya dalam pemaparannya, Fredrik Y. A. Doeka menjelaskan bahwa Mang Gariang secara sederhana dapat dimaknai sebagai “Baku Jaga“. Sebuah filosofi hidup khas masyarakat lokal Kabupaten Alor yang mengajarkan pentingnya saling menjaga satu sama lain, menghormati sesama manusia, dan hidup selaras dengan alam. Nilai-nilai ini tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat dan diwariskan lintas generasi. Lebih dari sekadar tradisi, Mang Gariang merupakan konsep bernilai transformatif yang apabila diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan formal, mampu membentuk karakter siswa yang peduli, berempati, serta sadar lingkungan dan sosial yang dalam konteks nasional dapat memperkuat isu ketahanan nasional di tengah menguatnya isu perpecahan.
Jika ditelisik, konsep Mang Gariang mengandung empat nilai utama, yaitu: Pertama, Esah Ū karang – Kasih sayang sesama manusia. Kedua, Fui to hamou – Hubungan darah (kekerabatan). Ketiga, Asala ahol – Tahu diri (rendah hati dan bertanggung jawab), Terakhir, pro-ekologi, yang diperinci dalam dua istilah kunci, masing-masing Ufoh hulabat – Sikap memelihara tumbuhan dan Ufoh puin-lata – Menjaga keseimbangan populasi hewan. Melalui nilai-nilai ini, peserta lokakarya diajak untuk merenungkan kembali peran pendidikan sebagai ruang pembentukan karakter yang berakar kuat pada budaya lokal.
Dalam proses diskusi dan praktik lokakarya, para peserta yang terdiri dari para guru dari TK dan SD Multikultural Cermin diajak untuk menerjemahkan nilai-nilai Mang Gariang ke dalam empat dimensi capaian pembelajaran Muatan Lokal sesuai Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 046/H/Kr/2025 tentang Capaian Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Jenjang Pendidikan Menengah. Keempat dimensi tersebut mencakup: tata krama, sejarah, budaya, dan seni dan permainan anak. Setiap nilai Mang Gariangdiinternalisasikan ke dalam masing-masing dimensi ini, mulai dari Fase A (kelas 1-2), Fase B (kelas 3-4), hingga Fase C (kelas 5-6). Dengan pendekatan ini, proses pembelajaran tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga bersifat holistik dan transformatif, menjadikan siswa sebagai subjek aktif dalam pelestarian nilai-nilai budaya.
Jusuf menyampaikan bahwa keberhasilan integrasi konsep Mang Gariang ke dalam perangkat ajar memerlukan tiga prinsip utama, yakni. Pertama, pembelajaran kontekstual, yakni materi pembelajaran disesuaikan dengan lingkungan, budaya, dan realitas siswa. Kedua, muatan nilai dalam aktivitas kelas, di mana guru merancang kegiatan yang mengandung nilai kasih sayang, kekerabatan, kesadaran diri, serta kepedulian lingkungan. Ketiga, kolaborasi dengan komunitas dengan menghadirkan tokoh adat, orang tua, atau kegiatan berbasis komunitas untuk memperkuat pemahaman siswa terhadap nilai-nilai lokal.
Dalam praktiknya, para peserta masih menghadapi tantangan dalam menyusun kegiatan pembelajaran yang mampu mengaitkan nilai-nilai tersebut ke dalam model pembelajaran yang konkret. Misalnya, peserta menyusun rencana pembelajaran tanpa mempertimbangkan model atau strategi yang relevan dengan prinsip pembelajaran mendalam, berkesadaran, dan bermakna bagi siswa. Menanggapi hal tersebut, Jusuf menekankan pentingnya perumusan pengalaman belajar yang terintegrasi dalam pedagogik (model, strategi, dan sebagainya) yang dipilih guru, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep secara teoritis, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. “Tujuan dan capaian pembelajaran hanya akan tercapai jika guru merancang pengalaman belajar yang memungkinkan siswa untuk memahami, mempraktikkan, dan merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari,” tegas Jusuf dalam salah satu sesi diskusi.
Dalam konteks pendidikan karakter, nilai Esah Ū karang sangat relevan untuk menumbuhkan empati, toleransi, dan kepedulian sosial siswa. Nilai Fui to hamou mengajarkan pentingnya menghargai keluarga dan komunitas sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas individu. Sementara itu, nilai Asala aholmenumbuhkan kesadaran akan pentingnya rendah hati, kejujuran, dan tanggung jawab. Selanjutnya, nilai pro-ekologi yang tercermin dalam nilai ufoh hulabat dan ufoh puin-lata, memberikan pemahaman ekologis yang mendalam kepada siswa. Dalam konteks krisis iklim global saat ini, nilai-nilai ini menjadi landasan penting dalam membentuk generasi yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan.

Aspek penting lainnya yang diangkat dalam lokakarya ini adalah bagaimana guru dapat merancang alat evaluasi untuk mengukur internalisasi nilai-nilai Mang Gariang dalam proses belajar siswa. Evaluasi ini tidak sekadar menilai kemampuan kognitif, tetapi lebih kepada refleksi perilaku dan sikap siswa terhadap nilai-nilai yang telah diajarkan. Zuvyati Aryani Tlonaen dalam sesinya menambahkan bahwa penilaian terhadap integrasi nilai Mang Gariang sebaiknya dilakukan secara berkala dan reflektif, tidak hanya berdasarkan ujian tulis, melainkan juga observasi, portofolio, dan diskusi kelas. Nilai Mang Gariang yang tertanam dengan baik pada siswa akan menjadi cerminan dari Identitas Sekolah Multikultural Cermin, menjadikannya sebagai sekolah yang tidak hanya mengajarkan keberagaman, tetapi juga menjadikan kearifan lokal sebagai fondasi pendidikan multikultural.

Dengan diadakannya kegiatan ini, SD Multikultural Cermin menunjukkan komitmennya untuk menghadirkan pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga membentuk karakter dan identitas siswa yang kuat dan berakar pada budaya mereka sendiri. Integrasi konsep Mang Gariang ke dalam kurikulum muatan lokal menjadi langkah progresif dalam menciptakan pendidikan yang holistik, berkesadaran, dan relevan dengan tantangan zaman. Jusuf Blegur dan Zuvyati Aryani Tlonaen pun berharap agar praktik baik ini tidak berhenti hanya pada penyusunan perangkat ajar, tetapi dapat terus berkembang dalam praktik pendidikan sehari-hari. Mereka menekankan bahwa nilai-nilai lokal bukanlah masa lalu yang ditinggalkan, melainkan warisan yang harus dirawat dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Program pelatihan dan lokakarya ini merupakan bagian integral dari Program Hibah Penelitian Pendidikan Tingi (Dikti) Pada Skema Pendidikan Fundamental Tahun 2025, dengan judul: “Mang Gariang: Paradigma Ketahanan Lokal yang Berdampak pada Ketahanan Nasional.” Program penelitian ini diketuai oleh Fredrik Y. A. Doeka, dan beranggotakan tim peneliti yang terdiri dari Etrika A. Nulik, Zuvyati A. Tlonaen, Arly E. M. de Haan, dan Zem Bell. Fokus utama penelitian ini adalah membuktikan bahwa nilai-nilai lokal seperti Mang Gariang memiliki potensi besar dalam memperkuat ketahanan sosial, budaya, dan lingkungan yang pada akhirnya mendukung ketahanan nasional secara berkelanjutan.